Kolom | Larangan atlet transgender masih tentang mencari poin politik, bukan keadilan

Penulis:ace Waktu Terbit:2025-07-07 Kategori: news

## Kolom: Larangan Atlet Transgender Masih Soal Mendulang Poin Politik, Bukan KeadilanDebat mengenai partisipasi atlet transgender dalam dunia olahraga terus membara, dan sayangnya, api itu lebih banyak disulut oleh kepentingan politik daripada kekhawatiran tulus tentang keadilan.

Kasus-kasus *outlier*, yang jarang terjadi, terus-menerus dijadikan panggung teater politik, terutama oleh tokoh-tokoh seperti mantan Presiden Trump, untuk mengipasi sentimen dan memecah belah.

Narasi yang sering kita dengar adalah bahwa atlet transgender, khususnya wanita transgender, memiliki keuntungan biologis yang tidak adil dibandingkan atlet wanita cisgender.

Klaim ini, meskipun terkadang dibungkus dengan bahasa ilmiah, seringkali kekurangan nuansa dan gagal mempertimbangkan kompleksitas biologis dan sosial yang terlibat.

Memang benar, ada perbedaan biologis antara pria dan wanita cisgender.

Namun, perbedaan ini tidak serta merta diterjemahkan menjadi keunggulan kompetitif yang absolut.

Hormon, anatomi, dan faktor-faktor lainnya berinteraksi dengan cara yang unik untuk setiap individu.

Lebih lanjut, banyak atlet transgender menjalani terapi hormon yang secara signifikan mengurangi perbedaan biologis tersebut.

Ironisnya, kita jarang mendengar keluhan tentang keunggulan biologis atlet cisgender yang secara alami memiliki kemampuan fisik luar biasa.

Michael Phelps, dengan rentang sayapnya yang luar biasa, atau Simone Biles, dengan kekuatan dan fleksibilitasnya yang di atas rata-rata, dielu-elukan sebagai keajaiban alam, bukan sebagai ancaman terhadap keadilan olahraga.

Lalu, mengapa atlet transgender menjadi sasaran?

Jawabannya terletak pada lanskap politik yang semakin terpolarisasi.

Isu transgender, seperti isu-isu budaya lainnya, telah dipolitisasi dan digunakan sebagai alat untuk menggalang dukungan dan memecah belah masyarakat.

Dengan menyoroti kasus-kasus *outlier* dan menakut-nakuti tentang “keunggulan biologis,” politisi dan media tertentu memanfaatkan ketakutan dan ketidakpastian untuk mencapai tujuan politik mereka.

Komentar mendalam saya, berdasarkan pengamatan dan interaksi dengan komunitas olahraga, adalah bahwa ini lebih tentang mengontrol narasi dan mendefinisikan siapa yang “pantas” untuk berpartisipasi.

Ini adalah tentang mempertahankan status quo dan melanggengkan norma gender tradisional.

Ini adalah tentang menolak perubahan sosial dan meminggirkan kelompok-kelompok yang sudah rentan.

Statistik terperinci menunjukkan bahwa atlet transgender masih merupakan minoritas kecil dalam dunia olahraga.

Selain itu, penelitian tentang dampak partisipasi mereka terhadap keadilan kompetitif masih terbatas dan tidak meyakinkan.

Namun, fakta-fakta ini seringkali diabaikan demi narasi yang lebih dramatis dan polarisasi.

Sebagai seorang jurnalis olahraga, saya memiliki pandangan pribadi yang kuat tentang masalah ini.

Saya percaya bahwa setiap orang, terlepas dari identitas gender mereka, berhak untuk berpartisipasi dalam olahraga dan mengalami manfaat fisik, mental, dan sosial yang ditawarkannya.

Tentu saja, keadilan harus menjadi pertimbangan utama.

Tetapi keadilan sejati tidak dapat dicapai dengan larangan dan diskriminasi yang luas.

Kita perlu pendekatan yang lebih bernuansa dan berbasis bukti, yang mempertimbangkan kompleksitas biologis dan sosial, serta menghormati hak dan martabat semua atlet.

Kita perlu fokus pada menciptakan lingkungan inklusif dan mendukung, di mana semua orang memiliki kesempatan untuk bersaing dengan adil dan mencapai potensi penuh mereka.

Pada akhirnya, larangan atlet transgender bukan tentang keadilan; itu tentang politik.

Ini adalah tentang mendulang poin dengan mengorbankan orang lain.

Ini adalah tentang melanggengkan norma yang ketinggalan zaman dan menolak perubahan sosial.

Dan itu adalah sesuatu yang harus kita lawan.